Selasa, 04 Oktober 2011

ABUYA KH. AHMAD ZAYADI MUHAJIR

K.H. Zayadi dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan ulama yang mempunyai akhlaq terpuji, sabar, tawadhu, berpendirian teguh, dan berusaha mencari keridhaan gurunya, sehingga wibawa dan kharismanya sangat tampak dan diakui oleh masyarakat.

Anak yatim, fakir miskin, dan janda yang kurang mampu, semuanya diberi shadaqah, terutama pada tanggal 10 Muharam. Saat itulah, halaman Perguruan Az-Ziyadah selalu ramai oleh kaum dhu’afa. Bahkan, anak yatim dan anak kurang mampu yang sekolah disana dibebaskan dari bayaran bulanan dan diberi bantuan berupa keperluan belajar yang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, K.H. Zayadi suka dan tekun beribadah, terutama dalam bulan Ramadhan. Pada malam hari, ia hanya tidur seperlunya. Begitu pula setelah sholat shubuh.

Sejak muda K.H. Zayadi kerap melakukan sholat sunnah dan wiridan. Ia tidak memiliki pesawat radio, apalagi televisi. Baginya, kedua benda tersebut mengajak orang lupa kepada Allah.

K.H. Zayadi lahir pada 23 Desember 1918 di Kampung Tanah 80, Klender, Jakarta Timur. Ia anak dari pasangan H. Muhajir bin Ahmad Gojek bin Dato Muh. Sholeh dan Umi Anisah. Dari garis ayahnya, K.H. Zayadi adalah cucu ulama Banten, K.H. Muhammad Sholeh yang dikenal sebagai “Mu’allim Ale”. Dia hijrah dan menetap di Kampung 80. ibunya wanita asli Betawi.

Masa kecilnya penuh kebahagiaan. Semua kebutuhannya dipenuhi oleh semua kebutuhannya dipenuhi oleh kedua orang tuanya dan juga pamannya dari pihak ibu yang tidak punya keturunan. Nama pamannya ini Taberih.

Pada tahun 1938, ketika menginjak umur 20 tahun, dia dinikahkan dengan Asmanih binti H. Kirom. Tapi hal ini tidak menghalanginya untuk tetap belajar mengaji di Kampung Bulak, Cipinang Muara, yang telah diikutinya. Pernikahannya itu memang atas inisitif guru mengajinya K.H. M. Thohir.

Namun, pasangan ini tidak dikaruniai keturunan, sampai Asmanih meninggal dunia pada 22 November 1986, saat usia pernikahan mereka mencapai 48 tahun. Sebelumnya, Asmanih sudah mempersilahkan K.H. Zayadi menikah lagi, namun ia tidak bersedia.

Sebulan sesudah kematian istri pertama, barulah Zayadi menikah lagi dengan Siti Fatimah binti K.H. Hasbiyallah, Klender, yang baru berumur 17 tahun. Mertuanya kali ini teman sepengajian waktu di Rawa Bangke dan Cipinang Muara. Pasangan iksan berumur 17 tahun dan 68 tahun ini justru dikaruniai empat anak, lelaki semua.

Pada umur 15 tahun, atas saran gurunya K.H. M. Thohir, Cipinang Muara, dan K.H. R. Mustaqiem, Rawa Bening, ia mendirikan Pondok Pesantren Az-Ziyadah. Tujuannya mencetak ulama, disamping mencerdaskan bangsa dan mengembangkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah serta membentengi umat dari pengaruh kebudayaan Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pada tahun 1972, ketika gedung madrasah dan bangunan asrama santri berdiri permanent, jumlah santrinya mencapai 6.600 orang. Mereka itu murid dari tingkat ibtidaiyah sampai aliyah. Bahkan pada tahun 1990, ia mendirikan sekolah Tinggi Agama Islam Az-Ziyadah.

Pada tahun 1948, Zayadi, bersama istri dan mertuanya, serta tujuh orang anggota keluarganya yang lain, malakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Dengan semangat tinggi, ia kemudian menimba ilmu agama di Makkah.

Karena ibunya memintanya pulang, ia pun kembali ke tanah air. “Buat apa ilmu tinggi kalau tidak mendapat restu ibu,” komentarnya kala itu.

Ketika pulang dari Tanah Suci, ia dan romobongan mendapatkan cobaan. Nahkoda memberitahukan, di kejauhan badan topan dahsyat siap menghadang Zayadi kemudian meminta izin kepada nahkoda untuk meminpin pembacaan “Maulid Barzanji” bersama penumpang lain. Setelah selesai, ia bertanya kepada nahkoda, “Apakah badainya masih jauh?” Ajaib, ternyata tidak terjadi gangguan sedikitpun. “Alhamdulillah, itulah rahasia dibalik Maulid Barzanji,” demikian komentarnya sambil mengangkat kesua belah tangannya ke udara.

Diantara gurunya adalah Habaib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Guru Marzuki Muara, Habib Ali Husin Alatas Bungur, Guru Hasan Kampung Tanah 80, Guru Karnain Pondok Bambu.

Pada hari Ahad 27 Maret 1994, kyai yang dikenal luas dengan kemuliaan akhlaqnya ini wafat dalam usia 76 tahun di Musholla Uswatun Hasanah di kaki Gunung Jati, Cirebon, ketika tengah mengikuti ziarah Walisanga yang diadakan secara rutin sejak tahun 1974. Saat itu, ia tengah Sholat Jama’ Taqdim pada kira-kira pukul 13.30. Sebelum sholat, ia sempat berkata kepada jamaah, “Saya tidak bisa mengikuti sholat kalian, dan kalian tidak bisa mengikuti sholat saya.”

Jenazah baru bisa dibawa ke Jakarta pada pukul 22.00 dengan sambutan para murid dan kerabat yang telah menunggu sejak sore hari. Sholat jenazah dilakukan dua kali, karena banyaknya jamaah yang ingin mensholatkan di Mesjid Al-Husna di dalam kompleks Perguruan Islam Az-Ziyadah.

Pada pukul 14.00 keesokan harinya, jenazahnya dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir di sebelah barat mesjid tersebut. Di antara pelayat adalah Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Surjadi Soedirja, K.H. Idham Khalid. K.H. M. Syafi’I Hadzami, Tuty Alawiyah, dan beberapa tokoh ulama, habaib, dan masyarakat luas.

 Sejarah Banser 


Mars GP Ansor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar