Senin, 31 Oktober 2011

Photo - Photo Kegiatan



Memperingati Tahun Baru Islam 1433 H / 26-27 November 2011
Yang di hadiri Oleh : Bpk. Prijanto ( Wakil Gubernur DKI Jakarta )

Wagub DKI Jakarta (Bpk. Prijanto) & PCNU Jak-Tim (KH. Iyus Fadhillah)
Di kawal dengan: SATKORYON Banser Duren Sawit, PROPOS Banser Jak-Tim 
Komandan SATKORCAB Banser Jak-Tim


Peserta pembaretan PC. GP. Ansor Jakarta-Timur
Di Anyar Pantai Pasir Putih
30 Oktober 2011

Selasa, 04 Oktober 2011

Berdirinya GP Ansor

Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan penjajahan dan penumpasan G 30 S/PKI, peran Ansor sangat menonjol.

Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi ”konflik” internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.

PENGURUS


SUSUNAN PENGURUS
PIMPINAN ANAK CABANG GERAKAN PEMUDA ANSOR
KECAMATAN DUREN SAWIT
MASA KHIDMAT 2011 – 2014

                         PENASEHAT                              : KH. Syahroni
                                                                                : Drs. Sulhan Jawad
                                                                                : Ismu Hadi
                        PEMBINA                                     : Abd. Majid
                                                                                : Niman Zakaria
I.                    PENGURUS HARIAN
Ketua                                              : Ahmad Dasuki
Wakil Ketua                                   : Jahruddin
Wakil Ketua                                   : Budiarto
Wakil Ketua                                   : Saidal Ahyad

Sekretaris                                      : M. Husin
Wakil Sekretaris                           : Edi, HM
Wakil Sekretaris                           : Dery Ulfahmi

Bendahara                                     : A. Fauzi
Wakil Bendahara                          : Wahidin

II.                  LEMBAGA - LEMBAGA

a.        Lembaga Pengembangan Organisasi dan Pendidikan Kader                             : 1.H. Arif
                                                                                                                                              :2. Reva Setyawan
b.       Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Kewira usahaan                                      :1.Nasrullah
                                                                                                                                              :2.M. Soleh
c.        Lembaga Pendidikan Dakwah dan pondok pesantren                                         :1.Ust. Anas Fahrudin
                                                                                                                                              :2. Ulfi Maula
d.       Lembaga Pembinaan Seni, budaya dan Olahraga                                                 :1.Wahyudin
                                                                                                                                              :2.Darminto
e.       Lembaga Kajian dan Pengembangan  Intlektual Muda                                        :1. Edi Waskito
                                                                                                                                              :2. Rohili
f.         Lembaga Komunikasi, Informasi dan Penerbitan                                                  :1. Karno Aswan
                                                                                                                                               :2.Ario Baskoro
g.        Lembaga Kerjasama Antar Lembaga                                                                       :1. Sofyan hari
                                                                                                                                               :2. Ferry Andrian                
Satuan Koordinasi Rayon (SATKORYON) Barisan Ansor Serbaguna (BANSER)

Kepala SATKORYON                  : Jahruddin
Wakil Kepala                                 : Saidal Ahyad
Kepala Staf                                    : Budiarto

MU'ALIM YUNUS


Mu’allimin Yunus adalah ulama nomor satu di tanah Betawi Kawasan Bukit Duri setelah beliau barulah yang lainnya. Ia lahir di Jakarta pada 31 November 1914 dengan nama Muhammad Yunus, anak pasangan Muhammad Sholeh dan Napsiah. Ibunya adalah seorang guru agama bagi hampir seluruh warga betawi di bukit duri dan sekitarnya pada saat itu, dengan sapaan akrab guru Nap. Sang ibu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani.Dari wanita inilah kemudian lahir banyak Ulama dan Habaib berdarah betawi di Bukit Duri Jakarta.

MUHAMMAD THAHIR ROHILI


Pernah berkunjung ke. Jalan Melayu Besar No.68 disitu ada sebuah perguruan islam yang bernama ATTAHIRIYAH.Pendirinya adalah KH.M.THOHIR ROHILI,seorang ulama asli Betawi yang lahir di daerah Kebon Baru.Seorang ulama yang tawadu dalam mengembangkan pendidikan Islam,ulama yang istiqomah dan selalu berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadist Rosullah.Ulama Betawi yang pernah menjabat Anggota DPR,Ulama yang menjadi ketua di DPW di PBNU wilayah DKI.

SYEKH DR AHMAD NAHRAWI ABDUS SALAM AL-INDUNISI



Ulama Betawi yang memiliki karya intelektual dan diakui secara luas di dunia Islam sangatlah sedikit. Salah satu yang sedikit itu adalah Syaikh Dr. Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi. Karya-karyanya antara lain Muhammad fil Qur'an, Mukhtasar al-Bukhari w Muslim, dan Al-Qiraat al-'Ashr. Namun, yang monumental adalah kitab karangannya yang berjudul Al-Imam As-Syafi'i fi Madzabihi al-Qadim wal al-Jadid yang telah diterjemahkan oleh JIC dan diterbitkan bersama penerbit Hikmah pada tahun 2008 dengan judul Ensikiopedia Imam Syafi'i. Kitab ini yang merupakan disertasi beliau dalam meraih gelar Doktor Perbandingan Mazhab Universitas Al-Azhar, Kairo, menurut Prof. Syaikh Abdul Ghani Abdul Khaliq, Guru Besar di universitas tersebut, merupakan karya yang monumental, luar biasa, dan sangat bermanfaat karena membahas semua aspek yang berkaitan dengan Imam Syafi'i. Bahkan menurut Syaikh KH. Saifuddin Amsir, salah seorang Rais Syuriah PB NU dan pengurus MUI Pusat, tidak ada satu karya yang membahas Imam Syafi'i di dunia Islam yang selengkap karya Syaikh Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam ini. Begitu berbobotnya kitab ini, nyaris tidak ada satu pun penulis tentang mazhab Syafi'i, khususnya di Indonesia, yang tidak menjadikan kitab ini sebagai refrensinya.

Namun, siapakah beliau? Nama lengkapnya adalah Ahmad Nahrawi Abdus Salam, lahir di Jakarta 30 Agustus 1931. Sedangkan nama Al-Indunisi adalah tambahan ketika beliau di Mesir yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Indonesia. Beliau adalah cucu dari Guru Mughni Kuningan, Jakarta Selatan dari jalur ibu, salah seorang dari enam guru Betawi yang terkemuka (the six teachers). Menurut penuturan putrinya, Amirah Le., semasa kecil, pendidikan formal pertama kali yang beliau tempuh adalah Taman Kanak-Kanak Belanda. Setelah itu, atas saran kakeknya, Guru Mughni, beliau kemudian meneruskan pendidikannya Jamiatul Khair, Tanah Abang, Jakarta sampai tingkat SLTA. Selain itu, beliau juga mengaji kepada KH. Abdullah Suhaimi, bapak dari KH. Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA, ulama Betawi dari Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Pencarian ilmu pengetahuan ke Mesir dimulai pada usianya yang ke-21 tahun, tepatnya pada Oktober 1952, yaitu ketika beliau pergi haji bersama kedua orang tuanya. Setelah melaksanakan ibadah haji, beliau tidak kembali ke tanah air. Beliau mengurus visa di Arab Saudi untuk pergi belajar di Mesir. Di negeri kaya peradaban itu, beliau meraih sejumlah gelar kesarjanaan. Gelar B.A diraih tahun 1956 dari Fakultas Syari'ah Universitas AI-Azhar, Kairo. Kemudian dua gelar M.A diraihnya pada universitas yang sarna, yakni M.A jurusan kehakiman (1958) dan M.A jurusan Pengajaran dan Pendidikan (1960). Pada tahun 1961, beliau mendapat gelar Diploma I jurusan Hukum, selanjutnya Diploma II diraihnya pada tahun 1962, keduanya diperoleh di Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo. Kedua Diploma tersebut setara dengan M.A. Perjalanan studinya terus berlanjut. Pada tahun 1966, beliau mendapat M.A Personal Statute dan Perbandingan Mazhab dati Universitas AI-Azhar, Kairo. Minatnya yang tinggi terhadap disiplin ilmu tersebut diteruskan dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Perbandingan Mazhab dari Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas AI-Azhar, Kairo.

Sejumlah aktivitas keorganisasian pemah dijalaninya.

Pada tahun 1950, beliau mendirikan Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH), dan menjadi ketuanya sampai tahun 1952. Pada tahun 1953, beliau mendirikan Organisasi Pelajar Indonesia di Mesir (PIM) yang kemudian diganti menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan menjadi ketuanya sampai awal tahun 1960-an. Kemudian pada tahun 1970, mendirikan PPI di Damaskus, Syiria, sekaligus menjadi ketuanya dalam beberapa tahun kepengurusan.

Perjalanan karir beliau, antara lain, adalah menjadi penyiar dan penerjemah pada Radio Mesir seksi siaran Bahasa Indonesia (1954 sampai dengan 1970). Pada tahun 1958 sampai dengan tahun 1968, belaiu menjadi guru bahasa Indonesia pada Akademi Bimbingan dan Kader AI-Azhar Cabang Universitas AI-Azhar untuk luar negeri. Beliau juga pemah menjadi dosen bahasa Indonesia pada Fakultas Bahasa Indonesia Cabang Univeritas 'Ain Syamas, Kairo. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1974, beliau menjadi pegawai lokal KBRI Damaskus dan memegang jabatan sebagai Wakil Pimpinan Redaksi Majalah Indonesia dalam bahasa Arab yang diterbitkan oleh KBRI. Beliau juga pernah menjadi penyiar dan penerjemah Radio Saudi Arabia seksi Bahasa Indonesia di Jeddah dari tahun 1974 sampai tahun 1988.

Pada tahun akhir tahun 1989, beliau pulang ke tanah air, Jakarta, tempat terakhir pengabdian dirinya sampai akhir hayat. Di Jakarta, beliau mendirikan Yayasan An-Nahrawi yang diantaranya bergerak di bidang pencetakan kitab-kitab beliau, seperti kitab Muhammad fi Qur'an dan lainnya. Namun, yayasan ini belum aktif lagi setelah beliau wafat. Seperti ulama Betawi lainnya, selama di Jakarta Beliau mengajar juga di beberapa majelis taklim di berbagai masjid, diantaranya di Masjid AI-Munawar, Pancoran, Jakarta Selatan yang dekat dengan rumahnya, Masjid Agung At-Tin, Masjid Istiqlal dan di Majelis Albahhsy waftahqiq As-salam yang mengkaji tentang fiqh Imam Syafi'i yang kini diteruskan oleh KH. Ahmad Kazruni Ishak Selain mengajar di majelis taklim, beliau juga pernah menjadi dosen di Fakultas Syari'ah lAIN (kini UIN) Ciputat. Dikarenakan jarak yang jauh dari tempat tinggal dan kesibukan lainnya, beliau hanya sempat mengajar di lAIN tersebut hanya satu semester. Meskipun mengajar di majelis taklim, beliau jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil doktor saja atau sering dipanggil syaikh. Sebagaimana budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak menyebutnya kyai ketika mengisahkannya di buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. Selain mengajar, beliau juga tercatat sebagai pengurus di Majelis Ulama Indonesia Pusat, yaitu di Komisi Fatwa dan Hukum, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengkajian Obat Makanan (LP-POM) MUI Pusat, dan salah seorang ketua MUI Pusat.

Pada tanggal 21 Syawal atau 7 Februari 1999, masyarakat Betawi dan umat Islam di Indonesia kehilangan salah satu ulama terbaiknya. Syaikh Dr. Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi pada tanggal tersebut, di usia 68 tahun, wafat dengan meninggalkan karya yang begitu berharga bagi umat Islam. Beliau dimakamkan di pemakan keluarga di Pedurenan (Belakang JMC, Jakarta Selatan).

KH. ACMAD MURSYIDI


K.H. ACMAD MURSYIDI

Klender, tepatnya Kampung Bulak, 10 November 1915, Hajjah Fatimah melahirkan anak sulung lelaki. Oleh suaminya, Ustadz Haji Maisin, ia diberi nama “Achmad Mursyidi”.

Umur sebelas tahun (1926), ia masuk Sekolah Rakyat di Pulo Gadung, yang berjarak sekitar empat kilo meter dari rumahnya. Sorenya ia belajar mengaji kepada Ustadz Abdul Kadir di Pondok Bambu.

Cita-cita Haji Maisin agar anak sulungnya itu menjadi ulama membuat ia menolak gagasan Idris, salah seorang guru di SR Pulo Gadung, yang ingin memasukan Mursyidi ke Noormal School (Sekolah Pendidikan Guru) karena anak itu pandai. Sekolah di Noormal School hanya empat tahun, kemudian bisa diangkat menjadi guru, prestasi yang prestisius.

“Mursyidi lebih baik menjadi Ulama,” kata Haji Maisin kepada Pak Idris, santun.

Lulus SR, 1930, Mursyidi belajar mengaji kepada Guru Marzuki bin Mirshad Muara hingga sang guru wafat pada 1933. Ia kemudian masuk Pesantren Plered Purwakarta, belajar kepada Ajengan Toha, memperdalam ilmu tauhid, fiqih, tafsir, hadist, nahwu, sharaf, balaghah, dan manthiq selama dua tahun. Setelah itu ia berguru kepada K.H. Achmad Thahir bin Jam’an alias Guru Amat di Cipinang Muara dan H. Gayar di Klender, yang kelak menjadi mertuanya. Selain itu dia juga belajar silat kepada Bang Majar di Kampung Sumur dan H. Darip di Klender.

Setelah membuka Madrasah Al-Falah pada tahun 1968, walau sudah menjadi kyai, dia (tetap) mengaji kepada beberapa ulama dan habaib, seperti Habaib Abdullah bin Salim bin Jindan di Kebon Nanas dan Habaib Ali bin Husein Al-Attas, Bungur, yang dikenal sebagai Habaib Ali Bungur.

Suatu hari Habaib Ali Bungur menyambut seorang tamu sambil berdiri. “Itu pertanda, tamunya itu orang yang sangat di hormati,” pikir Mursyidi. Ternyata benar, tamu itu adalah Habaib Soleh Tanggul dari Jember, yang sangat kharismatik. Buru-buru Mursyidi mencium tangan sang tamu dan mohon doa restu : “La tansani ‘anid du’a (mohon doakan saya),” katanya.

Habaib Tanggul kemudian menyuruh Mursyidi membuka mulut, dan meludahinya. “Telan ludahku,” katanya sambil meniup kepala Mursyidi. “Anta madzkurun wa masyurun (Kamu akan selalu diingat dan dikenal),” tambahnya.

Doa Habaib Tanggul menjadi kenyataan, pada tahun 1936 ia dikenal sebagai kyai muda.

Setelah menikah, kegiatannya justru makin padat. Selain mengajar, ia juga belajar berdakwah, hingga dikenal tidak sebatas di Klender tapi juga sampai ke Pulo Gadung, Cakung, Bekasi dan Penggilingan. Ia juga membina beberapa majelis ta’lim. Dan itulah yang membuat Belanda resah. Mereka curiga Mursyidi memanfaatkan pengajian untuk menghasut massa melawan Belanda.

Tanggal 27 Desember 1949, Mursyidi mencanangkan pembangunan Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Klender yang terus berkembang hingga saat ini. Ketika ia sibuk sebagai anggota DPR/MPR dari Partai NU pada tahun 1960-an, Al-Falah diserahkan kepada putra sulungnya Fakrudin, yang alumnus Ponpes Krapyak, Yogyakarta, dan Universitas NU Malang.

Sebagai mubaligh, nama Mursyidi, yang telah berangkat haji di tahun 1948, cukup terkenal diantara tiga ulama Klender. Dua yang lain adalah K.H. Hasbiyallah dan K.H. Achmad Zayadi Muhajir. Ketiganya sama-sama hasil didikan Guru Marzuki. Selain mempunyai majelis ta’lim di Tanah Abang, dia juga diminta mengisi Mejelis Ta’lim Daaruf Ma’arif, pimpinan K.H. Idham Chalid, di Cipete.

Kemudian dia semakin terkenal, karena pengajiannya di At-Tahiriyah, Tebet, selalu dipancarkan lewat radio perguruan tersebut. Namun, yang dominan adalah faktor kedekatannya dengan Idham Chalid, terutama di lingkungan partai.

Karier politiknya dimulai pada 1953, ketika terlibat lahirnya parpol NU, yang kemudian mengantarnya menjadi anggota DPR mewakili NU pada tahun 1959 (sampai 1968).

Selain menangani pengajian, yang tak pernah ditinggalkan, dia juga menjadi anggota Pleno Asisten Rohani Pusat Ad pada tahun 1961 dan hakim anggota pada Peradilan Agama DKI.

Mursyidi juga aktif dalam pembentukan PPP di Jakarta ketika parpol-parpol Islam berfusi pada zaman Orde Baru. Setelah melalui beberapa kali rapat, dia terpilih menjadi ketua Majelis Pertimbangan PPP di wilayah Jakarta.

Menjelang akhir politiknya, sebagai anggota tertua, Mursyidi sempat memimpin “Sidang Sementara” DPR/MPR RI hasil Pemilu 1987 (sebelum pemimpin lembaga legislatif itu ditentukan secara definitif). Ia juga diminta menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai, yang kemudian diembannya sampai “pensiun” pada tahun 1997.

Lepas dari kegiatan politik, dia tidak bisa tinggal diam. Di dalam Musyawarah Daerah MUI Jakarta Tahun 1999 yang digelar di Ciawi, Bogor, dia erpilih secara aklamasi sebagai ketua umum.

Dalam masa kepemimpinannya itu, MUI berhasil mewujudkan Islamic Centre di Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Tempat itu awalnya adalah daerah pelacuran yang telah berumur panjang sehingga menjadi noda hitam bagi masyarakat muslim Jakarta. Noda hitam itulah yang dia singkirkan sehingga tempat itu menjadi pusat kegiatan umat Islam secara fisik.

Selasa 8 April 2003, sekitar jam 24.00 WIB, K.H. Achmad Mursyidi wafat, setelah dirawat di RS Islam Jakarta. Tak kurang , Wakil Presiden, Menteri Agama, dab Gubernur Jakarta berta’ziyah ke rumanya. Ribuan jamaah mengiringi upacara pemakamannya di TPU Klender.

KH. HASBIYALLAH


K.H. HASBIYALLAH

Dalam perburuan ilmunya di Makkah K.H. Hasbiyallah, yang diperkirakan lahir pada tahun 1913, berguru kepada tokoh-tokoh ulama-ulama besar besar Indonesia seangkatannya. Diantara guru-gurunya itu adalah Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki, Syaikh Muhammad Habibullah As-Sanqiti, Syaikh Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan Al-Masysyath, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh ‘Ali Al-Yamani, Syaikh Zakariya Bila, Syaikh Ahmad Fathoni, Syaikh Umar At-Turki.

Sedangkan guru-gurunya di tanah air adalah K.H. Anwar, yang termasyhur dengan sebutan Mua’allim H. Gayar (ayahandanya sendiri), Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara, Guru Muhammad Thohir Cipinang Muara (menantu Guru Marzuki), K.H. Kholid Gondangdia, K.H. Abdul Majid Pekojan, Guru Babah, K.H. Abbas (Buntet, Cirebon), Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, dan Habib Ali Al-Attas Bungur.

Sejek kecil K.H. Hasbiyallah dididik oleh ayahandanya sendiri, Muallim H. Gayar, yang selain seorang pedagang juga ulama terkemuka. Mulai dari membaca Al-qur’an sampai ilmu-ilmu lain, diantaranya memperdalam ilmu tauhid, fiqih, tafsir, hadist, nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, dan sebagainya.

Namun karena kesibukan ayahnya sebagai pedagang, Hasbiyallah kecil dititipkan kepada teman karibnya, seorang ulama besar, Guru Marzuki bin Mirshod. Guru Gayar berkata kepada temannya itu dihadapan temannya yang lain, Guru Said, “Gua ama Said banyakan ngurusin dagang, ngajarnya kagak kaya elu. Elu aja yang jadi ulama. Kalo kita jadi ulama bertiga, entar kita pada berebutan berkat.”

Sebenarnya, ketiga guru itu terkenal dengan kealimannya masing-masing. Itu terlihat dari jumlah santri mereka pada zaman berikutnya menjadi ulama-ulama besar.

Mualim H. Gayar dan Guru Marzuki bin Mirshod belajar kepada Sayyid Ustman Banahsan (Habib Ustman Muda) dan Habib Ustman bin Abdillah bin ‘Aqil Bin Yahya Al-Alawi, yang termashur sebagai mufti Betawi dan memilki banyak karya dan sebagiannya selama puluhan tahun (bahkan lebih dari seratus tahun) hingga sekarang menjadi pegangan para penganut ilmu dan ulama.

Selama belajar dengan Guru Marzuki, Hasbiyallah muda banyak mendapat kesempatan bergaul dengan santri-santri lainnya dari Jakarta dan sekitarnya yang kemudian menjadi tokoh ulama yang disegani. Di antaranya, K.H. Mukhtar Tahbrani (Pendiri Ponpes An-Nur, Kaliabang Nangka, Bekasi), K.H. Noer Ali (Pendiri Ponpes At-Taqwa, Ujung Harapan, Bekasi), K.H. Mughni (mertua K.H. Noe Ali), K.H. Abdullah Syafi’I (pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah, Bali Matraman), K.H. Syarkaman Lenteng Agung, K.H. Rohaimin Gabus Pabrik, K.H. Abdul Hadi (pendiri Ponpes Cipinang Kebembem), K.H. Abu Bakar (Tambun), K.H. Abdul Hamid (Bekasi), K.H. A. Zayadi Muhajir (pendiri Ponpes Az-Ziyadah, Klender), K.H. Ahmad (Pangkalan Jati), K.H. Mukhtar (Pondok Bambu), K.H. Abdur Rohman Shodri (Bekasi), K.H. A. Mursyidi (Klender), K.H. Muhammad Nur Bungur Seroja, K.H. Jurjani Bungur, K.H. Thohir Rohili (pendiri Ponpes Athtahiriyah), K.H. Mualim Sodri Pisangan, Guru Abdurrahman Pulo Kambing.

Pada tahun 1934, ketika Hasbiyallah sedang giat-giatnya memperdalam ilmu agama. Allah memanggil sang guru ke haribaan-Nya. Namun semangat belajarnya tak pernah padam, hingga ia melanjutkan pelajatannya ke Pondok Pesantren Buntet Cirebon, yang diasuh seorang kyai besar kharismatik, K.H. Abbas Buntet.

K.H. Hasbiyallah, ulama yang dikenal luas akan kedalaman ilmunya, yang juga pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender, wafat pada tahun 1982.

KH. AHMAD MARZUKI BIN MIRSHOD


    GURU KH. MARZUKI BIN MIRSHAD

(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)

Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.

Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu


Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.

Guru-guru di Haramain


Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.), Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi (w. 1338 H.), Syekh Sa’id al-Yamani (w. 1352 H), Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.), Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1367 H.) dan lain-lain.

Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.

Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.

Sistem Mengajar dan Para Muridnya

Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).

Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.

Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH. Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH. Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender), dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).

Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi

Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .

Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya.

Wafatnya

Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .

Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.

ABUYA KH. AHMAD ZAYADI MUHAJIR

K.H. Zayadi dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan ulama yang mempunyai akhlaq terpuji, sabar, tawadhu, berpendirian teguh, dan berusaha mencari keridhaan gurunya, sehingga wibawa dan kharismanya sangat tampak dan diakui oleh masyarakat.

Anak yatim, fakir miskin, dan janda yang kurang mampu, semuanya diberi shadaqah, terutama pada tanggal 10 Muharam. Saat itulah, halaman Perguruan Az-Ziyadah selalu ramai oleh kaum dhu’afa. Bahkan, anak yatim dan anak kurang mampu yang sekolah disana dibebaskan dari bayaran bulanan dan diberi bantuan berupa keperluan belajar yang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, K.H. Zayadi suka dan tekun beribadah, terutama dalam bulan Ramadhan. Pada malam hari, ia hanya tidur seperlunya. Begitu pula setelah sholat shubuh.

Sejak muda K.H. Zayadi kerap melakukan sholat sunnah dan wiridan. Ia tidak memiliki pesawat radio, apalagi televisi. Baginya, kedua benda tersebut mengajak orang lupa kepada Allah.

K.H. Zayadi lahir pada 23 Desember 1918 di Kampung Tanah 80, Klender, Jakarta Timur. Ia anak dari pasangan H. Muhajir bin Ahmad Gojek bin Dato Muh. Sholeh dan Umi Anisah. Dari garis ayahnya, K.H. Zayadi adalah cucu ulama Banten, K.H. Muhammad Sholeh yang dikenal sebagai “Mu’allim Ale”. Dia hijrah dan menetap di Kampung 80. ibunya wanita asli Betawi.

Masa kecilnya penuh kebahagiaan. Semua kebutuhannya dipenuhi oleh semua kebutuhannya dipenuhi oleh kedua orang tuanya dan juga pamannya dari pihak ibu yang tidak punya keturunan. Nama pamannya ini Taberih.

Pada tahun 1938, ketika menginjak umur 20 tahun, dia dinikahkan dengan Asmanih binti H. Kirom. Tapi hal ini tidak menghalanginya untuk tetap belajar mengaji di Kampung Bulak, Cipinang Muara, yang telah diikutinya. Pernikahannya itu memang atas inisitif guru mengajinya K.H. M. Thohir.

Namun, pasangan ini tidak dikaruniai keturunan, sampai Asmanih meninggal dunia pada 22 November 1986, saat usia pernikahan mereka mencapai 48 tahun. Sebelumnya, Asmanih sudah mempersilahkan K.H. Zayadi menikah lagi, namun ia tidak bersedia.

Sebulan sesudah kematian istri pertama, barulah Zayadi menikah lagi dengan Siti Fatimah binti K.H. Hasbiyallah, Klender, yang baru berumur 17 tahun. Mertuanya kali ini teman sepengajian waktu di Rawa Bangke dan Cipinang Muara. Pasangan iksan berumur 17 tahun dan 68 tahun ini justru dikaruniai empat anak, lelaki semua.

Pada umur 15 tahun, atas saran gurunya K.H. M. Thohir, Cipinang Muara, dan K.H. R. Mustaqiem, Rawa Bening, ia mendirikan Pondok Pesantren Az-Ziyadah. Tujuannya mencetak ulama, disamping mencerdaskan bangsa dan mengembangkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah serta membentengi umat dari pengaruh kebudayaan Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pada tahun 1972, ketika gedung madrasah dan bangunan asrama santri berdiri permanent, jumlah santrinya mencapai 6.600 orang. Mereka itu murid dari tingkat ibtidaiyah sampai aliyah. Bahkan pada tahun 1990, ia mendirikan sekolah Tinggi Agama Islam Az-Ziyadah.

Pada tahun 1948, Zayadi, bersama istri dan mertuanya, serta tujuh orang anggota keluarganya yang lain, malakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Dengan semangat tinggi, ia kemudian menimba ilmu agama di Makkah.

Karena ibunya memintanya pulang, ia pun kembali ke tanah air. “Buat apa ilmu tinggi kalau tidak mendapat restu ibu,” komentarnya kala itu.

Ketika pulang dari Tanah Suci, ia dan romobongan mendapatkan cobaan. Nahkoda memberitahukan, di kejauhan badan topan dahsyat siap menghadang Zayadi kemudian meminta izin kepada nahkoda untuk meminpin pembacaan “Maulid Barzanji” bersama penumpang lain. Setelah selesai, ia bertanya kepada nahkoda, “Apakah badainya masih jauh?” Ajaib, ternyata tidak terjadi gangguan sedikitpun. “Alhamdulillah, itulah rahasia dibalik Maulid Barzanji,” demikian komentarnya sambil mengangkat kesua belah tangannya ke udara.

Diantara gurunya adalah Habaib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Guru Marzuki Muara, Habib Ali Husin Alatas Bungur, Guru Hasan Kampung Tanah 80, Guru Karnain Pondok Bambu.

Pada hari Ahad 27 Maret 1994, kyai yang dikenal luas dengan kemuliaan akhlaqnya ini wafat dalam usia 76 tahun di Musholla Uswatun Hasanah di kaki Gunung Jati, Cirebon, ketika tengah mengikuti ziarah Walisanga yang diadakan secara rutin sejak tahun 1974. Saat itu, ia tengah Sholat Jama’ Taqdim pada kira-kira pukul 13.30. Sebelum sholat, ia sempat berkata kepada jamaah, “Saya tidak bisa mengikuti sholat kalian, dan kalian tidak bisa mengikuti sholat saya.”

Jenazah baru bisa dibawa ke Jakarta pada pukul 22.00 dengan sambutan para murid dan kerabat yang telah menunggu sejak sore hari. Sholat jenazah dilakukan dua kali, karena banyaknya jamaah yang ingin mensholatkan di Mesjid Al-Husna di dalam kompleks Perguruan Islam Az-Ziyadah.

Pada pukul 14.00 keesokan harinya, jenazahnya dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir di sebelah barat mesjid tersebut. Di antara pelayat adalah Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Surjadi Soedirja, K.H. Idham Khalid. K.H. M. Syafi’I Hadzami, Tuty Alawiyah, dan beberapa tokoh ulama, habaib, dan masyarakat luas.

 Sejarah Banser 


Mars GP Ansor